Menjaga Aset “Arkaik” PTPN I Regional 7

147 views

BANDAR LAMPUNG Suara Kota —Melintas di ruas Jalan Teuku Umar, Bandar Lampung yang sudah hampir berpagar ruko, suasana sedikit lega saat menjelang ujung utara. Di sisi timur, satu rumah tua dengan halaman lapangan rumput luas dan berlatar pohon-pohon rindang begitu menyejukkan mata. Bangunan itu adalah Rumah Dinas Region Head PTPN I Regional 7 (dulu PTPN VII).

Rumah berarsitektur Belanda dengan potongan atap limasan, berumpak tinggi dengan ornamen batu belah itu adalah salah satu warisan sejarah yang terus dijaga oleh perusahaan. Tercatat sebagai cagar budaya, hunian “ex officio” bagi setiap pimpinan tertinggi di perusahaan perkebunan milik negara itu dimaknai sebagai “harta” tak ternilai.

Memiliki 28 Unit Kerja di Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu, PTPN I Regional 7 mewarisi puluhan aset eks. Perusahaan Belanda. Setelah dinasionalisasi pada 1958, Pemerintah membentuk perusahaan pengelola bernama PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) yang secara kewilayahan berdiri entitas tersendiri. Dalam perkembangannya, PPN diubah menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) dan berubah kembali menjadi PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) dengan entitas masing-masing terpisah berdasarkan wilayah. Kemudian pada 1996 berubah menjadi PTPN (PT Perkebunan Nusantara) sekaligus konsolidasi entitas menjadi 14 perusahaan. Yakni, PTPN I sampai PTPN XIV.
Dalam skema konsolidasi, PTPN VII merupakan gabungan dari PTP X, XI, XXII, dan XXXI. Unit kerja yang dimasukkan ke dalam PTPN VII ada di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu dengan komoditas kelapa sawit, karet, tebu (gula pasir), dan teh.
Sejak 1 Desember 2023, PTPN VII resmi melebur dalam entitas PTPN I sebagai Subholding Supporting Co. Dengan aset yang sama dengan saat masih PTPN VII, Eks. PTPN VII menjadi salah satu Unit Kerja PTPN I dengan sebutan Regional 7.

Dari 28 Unit Kerja dengan sebutan Kebun, Regional 7 memiliki 11 Kebun yang merupakan warisan zaman klonial. Penyebutan 11 Kebun itu berdasarkan penataan manajemen saat ini. Jika mengacu kepada keberadaan Kebun-Kebun itu semasa awal, jumlahnya jauh lebih banyak.
Muhammad Agus Ikhsan, Krani I Perizinan dan Pertanahan PTPN I Regional 7 menyebutkan, di 13 Unit Kebun itu masih ada puluhan artefak pananda bahwa Kebun tersebut peninggalan Belanda. Salah satu yang cukup menonjol adalah Rumah Dinas Region Head 7 yang berada di Jalan Teuku Umar No.300 Kedaton, Bandar Lampung yang diresmikan tahun 1936 itu.

“Yang pasti, RS-1 (sebutan untuk rumah dinas Direktur) di Emplasemen Kandir itu masih asli dan belum berubah bentuk. Beberapa konstruksinya sudah pernah direhab, tetapi struktur bangunannya masih asli. Pada kap (konstruksi atap) itu ada kayu sepanjang 12 meter utuh, tanpa sambungan. Juga ada prasasti berbahasa Belanda di salah satu pilar luar. Itu masih asli,” kata dia.
Agus Ikhsan adalah satu dari sedikit orang yang mencermati sejarah artefak kuno di Regional 7. Meskipun mulai bekerja sebagai Satpam di Kebun Bekri pada 1992, Agus sangat aktif mengikuti perkembangan sejarah dan asal-usul aset. Diangkat menjadi karyawan tetap pada 1998, pria pelatih karate ini ditarik ke Bagian Pertanahan dan Aset hingga saat ini.

Agus menuturkan, 13 Unit Kebun yang merupakan eks. Perkebunan Belanda ada di Lampung dan Sumsel. Di Lampung ada Kedaton I (Kantor Direksi, sekarang Kantor Regional), Kedaton, Bergen, Way Berulu, Way Lima, Pematang Kiwah, Bekri, Tulung Buyut, dan Padangratu. Sedangkan yang berada di Provinsi Sumsel adalah Musi Landas, Betung, Tebenan, dan Pagar Alam.

BACA JUGA :   Pemkot Bandar Lampung Ajukan 20 Ribu Honorer Jadi PPPK

“Kalau sebelum pembagian Unit Kebun seperti sekarang, jumlahnya lebih banyak. Seperti di Tangkit Serdang, itu dulu Unit tersendiri, tetapi sekarang masuk Kebun Way Lima Afdeling Tangkit Serdang. Itu kebun yang paling tua. Kalau tidak salah tahun 1898,” kata dia.

Sejak bergabung di Pertanahan, Agus sangat intens ikut dalamMenjaga Aset “Arkaik” PTPN I Regional 7

BANDAR LAMPUNG—Melintas di ruas Jalan Teuku Umar, Bandar Lampung yang sudah hampir berpagar ruko, suasana sedikit lega saat menjelang ujung utara. Di sisi timur, satu rumah tua dengan halaman lapangan rumput luas dan berlatar pohon-pohon rindang begitu menyejukkan mata. Bangunan itu adalah Rumah Dinas Region Head PTPN I Regional 7 (dulu PTPN VII).

Rumah berarsitektur Belanda dengan potongan atap limasan, berumpak tinggi dengan ornamen batu belah itu adalah salah satu warisan sejarah yang terus dijaga oleh perusahaan. Tercatat sebagai cagar budaya, hunian “ex officio” bagi setiap pimpinan tertinggi di perusahaan perkebunan milik negara itu dimaknai sebagai “harta” tak ternilai.
Memiliki 28 Unit Kerja di Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu, PTPN I Regional 7 mewarisi puluhan aset eks. Perusahaan Belanda. Setelah dinasionalisasi pada 1958, Pemerintah membentuk perusahaan pengelola bernama PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) yang secara kewilayahan berdiri entitas tersendiri. Dalam perkembangannya, PPN diubah menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) dan berubah kembali menjadi PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) dengan entitas masing-masing terpisah berdasarkan wilayah. Kemudian pada 1996 berubah menjadi PTPN (PT Perkebunan Nusantara) sekaligus konsolidasi entitas menjadi 14 perusahaan. Yakni, PTPN I sampai PTPN XIV.
Dalam skema konsolidasi, PTPN VII merupakan gabungan dari PTP X, XI, XXII, dan XXXI. Unit kerja yang dimasukkan ke dalam PTPN VII ada di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu dengan komoditas kelapa sawit, karet, tebu (gula pasir), dan teh.
Sejak 1 Desember 2023, PTPN VII resmi melebur dalam entitas PTPN I sebagai Subholding Supporting Co. Dengan aset yang sama dengan saat masih PTPN VII, Eks. PTPN VII menjadi salah satu Unit Kerja PTPN I dengan sebutan Regional 7.
Dari 28 Unit Kerja dengan sebutan Kebun, Regional 7 memiliki 11 Kebun yang merupakan warisan zaman klonial. Penyebutan 11 Kebun itu berdasarkan penataan manajemen saat ini. Jika mengacu kepada keberadaan Kebun-Kebun itu semasa awal, jumlahnya jauh lebih banyak.

Muhammad Agus Ikhsan, Krani I Perizinan dan Pertanahan PTPN I Regional 7 menyebutkan, di 13 Unit Kebun itu masih ada puluhan artefak pananda bahwa Kebun tersebut peninggalan Belanda. Salah satu yang cukup menonjol adalah Rumah Dinas Region Head 7 yang berada di Jalan Teuku Umar No.300 Kedaton, Bandar Lampung yang diresmikan tahun 1936 itu.
“Yang pasti, RS-1 (sebutan untuk rumah dinas Direktur) di Emplasemen Kandir itu masih asli dan belum berubah bentuk. Beberapa konstruksinya sudah pernah direhab, tetapi struktur bangunannya masih asli. Pada kap (konstruksi atap) itu ada kayu sepanjang 12 meter utuh, tanpa sambungan. Juga ada prasasti berbahasa Belanda di salah satu pilar luar. Itu masih asli,” kata dia.
Agus Ikhsan adalah satu dari sedikit orang yang mencermati sejarah artefak kuno di Regional 7. Meskipun mulai bekerja sebagai Satpam di Kebun Bekri pada 1992, Agus sangat aktif mengikuti perkembangan sejarah dan asal-usul aset. Diangkat menjadi karyawan tetap pada 1998, pria pelatih karate ini ditarik ke Bagian Pertanahan dan Aset hingga saat ini.
Agus menuturkan, 13 Unit Kebun yang merupakan eks. Perkebunan Belanda ada di Lampung dan Sumsel. Di Lampung ada Kedaton I (Kantor Direksi, sekarang Kantor Regional), Kedaton, Bergen, Way Berulu, Way Lima, Pematang Kiwah, Bekri, Tulung Buyut, dan Padangratu. Sedangkan yang berada di Provinsi Sumsel adalah Musi Landas, Betung, Tebenan, dan Pagar Alam.

BACA JUGA :   Pemkot Tertibkan 10 Bangunan Semipermanen Diatas Sungai

“Kalau sebelum pembagian Unit Kebun seperti sekarang, jumlahnya lebih banyak. Seperti di Tangkit Serdang, itu dulu Unit tersendiri, tetapi sekarang masuk Kebun Way Lima Afdeling Tangkit Serdang. Itu kebun yang paling tua. Kalau tidak salah tahun 1898,” kata dia.
Sejak bergabung di Pertanahan, Agus sangat intens ikut dalam tim pengukuran, penentuan batas, pengambilan titik kordinat, hingga penelusuran asal-usul lahan milik negara itu. Lebih dari itu, ia juga menginventarisasi aset-aset perusahaan, termasuk identifikasi properti tua yang merupakan cagar budaya.

Unit Kebun dengan peninggalan artefak sangat tua lainnya adalah Pabrik dan Kebun Teh Pagaralam, Sumatera Selatan. Hingga saat ini, di plang serambi pabrik yang berada di lereng Gunung Dempo itu tertulis tarikh 1929 sebagai penadan bangunan ini didirikan.
Selain bangunan pabrik, beberapa unit mesin pengolah teh di pabrik ini juga masih dimanfaatkan. Sementara, beberapa mesin yang sudah tidak layak dari sisi teknologinya, dijadikan monumen di depan pabrik. Mesin-mesin itu buatan Belanda.
Kompleks Pabrik Teh Gunung Dempo itu juga disokong oleh beberapa rumah dinas. Rumah-rumah itu masih asli berarsitektur Belanda lengkap dengan berbagai “misterinya”. Bahkan, beberapa fasilitas lain, termasuk kolam renang masih ada, tetapi sudah tidak dimanfaatkan.
“Kalau mau melihat yang masih asli-asli kita bisa ke Pagar Alam. Di sana kan memang bangunan dan fasilitas untuk pengembangan produksinya relatif tidak perlu perubahan radikal. Jadi, banyak sekali artefak di sana yang masih utuh,” kata dia.

Di hampir semua Unit Kebun yang merupakan eks Belanda dipastikan Agus masih ada artefak-artefak. Di Musi Landas, Sumsel, misalnya, Kantor Sentral yang saat ini digunakan adalah bangunan zaman Belanda. Demikian juga dengan rumah tua yang berada di bagian depan, masih asli buatan Belanda.
Di Unit Tulungbuyut, Waykanan, Lampung, kita masih bisa menikmati nostalgia cerobong legendaris khas Belanda dari Ruang Asap alias oven karet. Bangunan yang hingga saat ini masih dimanfaatkan untuk produksi karet itu tetap dipertahankan.
Cerobong asap dari Pabrik Karet Pematang Kiwah, di bilangan Natar, Lampung Selatan juga merupakan warisan Belanda. Demikian juga rumah-rumah dinas di Unit Kebun Kedaton, Kebun Bergen, Kebun Tulung Buyut, Afdeling Trikora, Afdeling Tangkit Serdang, dan lainnya.
Di Unit Kebun Bekri, aura perkebunan zaman Belanda masih mengurung suasana ketika kita memasuki komplek perumahan. Dengan halaman berupa lapangan rumput yang luas dan beberapa batang pohon ambon besar yang dahan dan daunnya menjadi payung raksasa, aroma arkaik Belanda sangat terasa.
Mengomentari soal artefak lama, Kabag Sekretariat dan Hukum PTPN I Regional 7 Bambang Hartawan menyatakan perusahaan berkomitmen untuk menjaga aset-aset bersejarah itu. Menurut dia, aset tersebut merupakan harta karun yang sulit memberikan nilainya.

BACA JUGA :   Pemkot Adakan Vaksin Rabies Massal Gratis di 20 Kecamatan

“Kami berkomitmen untuk menjaga sekuat energi yang ada. Kami sangat menghargai sejarah dan saya kira ini aset tak ternilai. Secara moral, kami mempunyai tanggung jawab histori kepada negara,” kata dia. (*) tim pengukuran, penentuan batas, pengambilan titik kordinat, hingga penelusuran asal-usul lahan milik negara itu. Lebih dari itu, ia juga menginventarisasi aset-aset perusahaan, termasuk identifikasi properti tua yang merupakan cagar budaya.

Unit Kebun dengan peninggalan artefak sangat tua lainnya adalah Pabrik dan Kebun Teh Pagaralam, Sumatera Selatan. Hingga saat ini, di plang serambi pabrik yang berada di lereng Gunung Dempo itu tertulis tarikh 1929 sebagai penadan bangunan ini didirikan.
Selain bangunan pabrik, beberapa unit mesin pengolah teh di pabrik ini juga masih dimanfaatkan. Sementara, beberapa mesin yang sudah tidak layak dari sisi teknologinya, dijadikan monumen di depan pabrik. Mesin-mesin itu buatan Belanda.
Kompleks Pabrik Teh Gunung Dempo itu juga disokong oleh beberapa rumah dinas. Rumah-rumah itu masih asli berarsitektur Belanda lengkap dengan berbagai “misterinya”. Bahkan, beberapa fasilitas lain, termasuk kolam renang masih ada, tetapi sudah tidak dimanfaatkan.
“Kalau mau melihat yang masih asli-asli kita bisa ke Pagar Alam. Di sana kan memang bangunan dan fasilitas untuk pengembangan produksinya relatif tidak perlu perubahan radikal. Jadi, banyak sekali artefak di sana yang masih utuh,” kata dia.

Di hampir semua Unit Kebun yang merupakan eks Belanda dipastikan Agus masih ada artefak-artefak. Di Musi Landas, Sumsel, misalnya, Kantor Sentral yang saat ini digunakan adalah bangunan zaman Belanda. Demikian juga dengan rumah tua yang berada di bagian depan, masih asli buatan Belanda.
Di Unit Tulungbuyut, Waykanan, Lampung, kita masih bisa menikmati nostalgia cerobong legendaris khas Belanda dari Ruang Asap alias oven karet. Bangunan yang hingga saat ini masih dimanfaatkan untuk produksi karet itu tetap dipertahankan.

Cerobong asap dari Pabrik Karet Pematang Kiwah, di bilangan Natar, Lampung Selatan juga merupakan warisan Belanda. Demikian juga rumah-rumah dinas di Unit Kebun Kedaton, Kebun Bergen, Kebun Tulung Buyut, Afdeling Trikora, Afdeling Tangkit Serdang, dan lainnya.
Di Unit Kebun Bekri, aura perkebunan zaman Belanda masih mengurung suasana ketika kita memasuki komplek perumahan. Dengan halaman berupa lapangan rumput yang luas dan beberapa batang pohon ambon besar yang dahan dan daunnya menjadi payung raksasa, aroma arkaik Belanda sangat terasa.

Mengomentari soal artefak lama, Kabag Sekretariat dan Hukum PTPN I Regional 7 Bambang Hartawan menyatakan perusahaan berkomitmen untuk menjaga aset-aset bersejarah itu. Menurut dia, aset tersebut merupakan harta karun yang sulit memberikan nilainya.
“Kami berkomitmen untuk menjaga sekuat energi yang ada. Kami sangat menghargai sejarah dan saya kira ini aset tak ternilai. Secara moral, kami mempunyai tanggung jawab histori kepada negara,” kata dia. (*)